Rabu, 14 Agustus 2013

Cinta Segienam

Cinta segienam

Arial berdiri tepat dibelakang Arumi. Menatap punggung Arumi yang sedang memalingkan wajah cantiknya. Arumi menangis? Rasanya memang sulit bagi Arial mendapati kenyataan bahwa sahabat jagoannya itu tengah menangis. Padahal sore itu sedang cerah-cerahnya, secerah senyuman Arumi yang terus terkenang manis diingatan Arial. Tapi tangisan Arumi kini membawa badai di hati Arial, bukan, bukan airmatanya, tapi suara sesenggukan tangisnya yg membungkan jantung Arial seketika saat itu juga.  

Terlalu banyak hal yang tidak Arial tahu tentang Arumi, meski label persahabatan telah direkatkan dalam rona kehidupan mereka berdua sejak lama. Arial tak pernah tahu Arumi menyukai hujan, Arial tak pernah tahu Arumi itu cengeng, Arial tak pernah tahu kegugupan Arumi saat bertatapan dengannya, bahkan Arial tak pernah tahu hati Arumi yang berkarang karenanya. Begitupun Arumi, tapi hanya satu yang Arumi tidak tahu tentang Arial, Arumi tidak tahu bahwa Arial tahu segalanya tentang dia. 

Arial: "Kamu sayang sama aku?"

Arumi: "Iyalah, aku sayang kali sama kamu. Kamu kan sahabat terrrrbaiknya aku"

Arial: "Tapi kamu juga cinta kan sama aku"

Arumi: (berbalik badan) "Apaan sih kamu, kamu kan tahu aku suka sama Akira"

Arial: "Tapi Ares bilangnya kok beda ya..."

Arumi: "Jadi Ares..." (berbalik badan dan menatap Arial kaget)

Arial: "Nggak kok, sebelum Ares bilang, aku sudah tahu semuanya"

Arumi: "...... kamu jangan sok tahu, yal" (kembali berbalik badan)

Arial: "Kamu yang gak pernah berani natap aku, kamu dan Ares yang sering ngajak aku jalan bertiga bareng kalian, kamu yang terlalu heboh dengan cerita Akira-mu itu, dan kamu yang 'ngotot' banget sama hubungan ku dengan Ananti, ... kurang apa lagi? Apa itu semua masih kurang nunjukin kalau kamu cinta sama aku?" 

Arial: "Sudah lama kita temenan mi, tapi sampai sekarang kamu gak pernah berani natap aku langsung. Lihat kan sekarang? kaya gini!." 

Hening sejenak. Arumi pun mulai menangis.

Arial: "Aku tahu mi, Ares yang sering ngajak kita jalan bertiga itu cuma usaha dia supaya kita bisa sering jalan bareng keluar, terus saat kamu bilang sama aku kalau kamu suka sama Akira, aku tahu kamu cuma ingin liat aku cemburu. Sampai akhirnya kamu ngotot bgt soal hubungan aku sama Ananti, kamu cuma ingin aku punya pacar supaya kamu bisa cepet move on.. iya kan, Mi?.... Arumi, benarkan? Ares pun juga sudah membenarkannya"

Arumi: "Lantas, kalau Ares sudah memberitahumu semuanya, apa pantas kamu membeberkannya lagi pada ku? Apa kamu sengaja mau bikin aku malu?"

Arial: "Aku tahu sendiri mi, sebelum Ares yang...." (dipotong pembicaraan oleh gertakan Arumi)

Arumi: "Sudah cukup!! Stop soal Ares. Stop.....  " (Tangis Arumi semakin pecah)

Suasana pun hening kembali.

Arial: "Ares sayang kamu, Mi"

Arumi: "Please, Yal. Sudah kubilang stop soal Ares."

Arial: "Aku juga tahu ini sejak lama, saat kamu mulai membagi hari-hari kita dengan dia. Saat Ares mulai terbiasa keluar masuk diantara sela kita, dan saat Ares mulai memberanikan diri mebuat pengakuan pada ku"

Arumi berbalik dan mulai memberanikan diri menatap tajam Arial

Arial: "Ares... Dia sudah tak sanggup menjadi peri cinta mu disaat dia menjadi harus iblis untuk cintanya sendiri. Kamu pernah tanyakan sama aku, kenapa akhir-akhir ini Ares berubah sinis dan terus menghindar. Itu lah mi jawabannya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk membantu mu adalah dengan segala pengakuan yang dia beberkan kepada ku. Dia mundur karena dikalahkan oleh cintanya sendiri, Mi."

Arial: "haha.. aku suka lucu kalau inget kamu sering ceritain Akira ke aku supaya aku jealous. Padahal aku jauh lebih cemburu ketika Ares lagi usaha nyomblangin kita. Ironis ya...."

Arumi: "Yal, jangan bilang kalau kamu... juga..."

Arial: "Ya, mungkin... mungkin dulu aku sempet punya perasaan lebih juga ke kamu. Tapi aku minder setelah ada Ares. Ya mungkin memang Ares yang terbaik buat kamu Mi.... Terimakasih ya Mi atas segala perasaan kamu untuk aku selama ini, terimaksih untuk segala waktu kamu buat aku, terimakasih mi... dan terimakasih juga akhirnya aku bisa mengatakan "terimakasih" ini ke kamu setelah sekian lama aku tahu perasaan terpendam kamu untuk aku. Tapi sekali lagi Mi, Ares lah yang terbaik buat kamu. Ares benar-benar menyayangi kamu. Susul dia, dan sambutlah perasaannya, aku yakin bangte kalian akan bahagia bila bersama..."

Arumi: "Tapi aku dan Akira.. Kita.... sudah jadian, Yal (lirih)"

Arial: "Jadi kamu......."

Arumi" Terlalu banyak hal yang perlu diluruskan tentang ke-sok-tahu-an kamu Yal..... Ya, aku memang memendam perasaan ke kamu, sampai akhirnya aku memutuskan untuk move on karena aku pikir perasaan ini salah. Hingga munculah sosok Akira dalam kehidupan ku. Dan aku memutuskan untuk berpaling kepada Akira, tapi Akira hanya sesosok orang asing yang muncul begitu saja tanpa ku kenal dekat. Hingga akhirnya, Akira hanya menjadi sebuah obsesi yang sering ku ceritakan padamu. Lalu Ares, Ares muncul diantara kita karena dia menyukai Ananti. Makanya dia berniat menyomblangi aku sama kamu, supaya Ananti tidak jatuh ke pelukan mu. Sampai akhirnya dia benar jatuh cinta padaku..... Aku tidak tahu lagi sampai sini."

Arumi: "Tapi yang pasti aku sudah terlalu lelah dengan lingkaran hitam diantara kalian. Akhirnya aku memutuskan untuk mundur sendiri, hingga bertemu dengan Akira yang bukan lagi sebagai orang asing. Aku sudah bisa berteman dengannya, semua ini berkat Aninda yang sering ku ceritakan padamu. Dan diam-diam kusadari bahwa aku memang mulai mempunyai perasaan mendalam pada Akira"

Arial: "Tapi, bukannya kamu bilang Aninda juga menyukai Akira?"

Arumi: "Disini mungkin aku bernasib sama seperti Ares, berawal dari sering mendengar curhatan teman, dan  menjadi peri cinta, malah aku yang terpanah sendiri. Semakin ku kenal Akira, semakin ku terjatuh pada pesonanya. Lagi pula, disinilah cinta halal untuk egois, disaat cinta belum punya siapa-siapa."

Arial: "Lantas Ares?"

Arumi: "Itulah bedanya kami dalam hal ini. Aku berani mengambil resiko mencari kebagahiaan yg lain, tapi Ares, dia terlalu bijaksana dengan memikirkan perasaan orang lain dan memilih untuk meninggalkan semua dengan kebahagiaan masing-masing...... Ares masih menempati tempat spesial di hati ku, kok Yal. Dia telah menjadi sebagian dari sosok kamu yang mulai mengganti sebagian sosok aku dengan Ananti. Buat aku, dia adalah separuhnya kamu Yal. Dia sama berartinya kaya kamu."

Arumi: "Ohiya, akan aku dengarkan saran mu yang tadi, aku akan susul Ares sekarang juga Dan kemudian aku akan bilang terimakasih untuk setiap waktu dan perasaannya yang telah dia berikan untuku. Sama seperti yang telah kamu lakukan kepada ku tadi hehe...... Termikasih Ya, telah memberikan ku kesempatan untuk mengucapkan "terimakasih" kepada Ares. Dan terimakasih juga untuk kamu, untuk hari ini, dan untuk segala hal yang "mungkin" kamu tahu tentang aku..

Hujan pun turun diantara mereka. Sore yang cerah kini bermuram. Seperti dua insan yang masih belum beranjak pada tempat yang sama.

Arumi: "Hujan yal, Sebaiknya kita akhiri hari ini... Kamu jangan sampai kehujanan, kamu gak kuat dingin kan"

Arumi beranjak pergi

Arial: "Kenapa kamu cepat pergi, tidak kah mau menikmati hujan ini dulu. Bukannya kamu suka hujan. Kamu kan seperti halilintar ditengah badai. Kamu memang terlihat kuat, tapi tetap saja basah. Karena kamu cengeng. Kamu suka hujan karena kamu bisa mengeluarkan segala emosi yang kamu lalui bersama airmata yang jatuh dengan hujan. Iya kan. Semoga itu satu-satunya yang aku tahu tentang kamu yang benar :)"

Arumi: (tersenyum) "Ya memang benar..... Entah mengapa, tiap kali hujan aku selalu ingat dengan Arial. Mungkin karena dulu aku terlalu mencintai Arial. Aku mencintai kamu seperti air yang mencintai hujan. Basah.... Karena aku cuma berani mencintai kamu di dalam air mata yang selalu aku jatuhkan bersama air hujan. Itulah ketegaran aku sebenarnya yang runtuh tiap kali hujan. Ya seperti yang kamu katakan, Aku adalah halilintar di tengah badai. Kuat, tapi tetap saja basah (cengeng). Terimaskih Arial. Kamu adalah sahabat terbaiknya aku. Kamu mengerti benar tentang aku." 

Arumi: "Semoga kamu bahagia ya dengan Ananti, dia kan kecerahan hati yang selalu kamu nantikan selama ini...."

Arial: "Arumi terimaskih banyak untuk semuanya, termasuk untuk kebesaran hati mu menyadarkan ku tentang kehadiran Ananti. Salam untuk Ares, dan sampaikan terimakasih ku juga untuk kebesaran hati Ares yang telah menahan rasanya untuk tidak merebut dirimu mapun Ananti dari genggaman ku. Serta sampaikan ucapan maafku kepadanya karena telah gagal menjadi peri cinta untuk menyatukan dia dengan kamu hehe.. Aku sayang padanya, aku sayang kalian berdua. Kalian adalah sahabat terbaik ku."

Arumi hanya menyambutnya dengan senyum hangat, dan kembali berbalik berjalan menjauh dan melambaikan tangan. Arial masih menatap sahabatnya itu dibawah hujan. Merasakan sakitnya dijatuhi ribuan tetesan hujan tetapi akhirnya dia tahu mengapa hujan begitu melegakan. Dia bisa menangis bersama hujan. Kali ini Arial yang menangisi Arumi dibawah hujan. Ada satu kejujuran yang tak pernah terungkap, dan kini mengalir bersama derasnya hujan sore itu. Arumi lah sebenernya kecerahan yang dinantikan Arial selama ini. Tapi Arial sadar, hujan dan kecerahan itu tidak bisa menyatu, kecuali hujan yang biasa orang bilang dengan hujan orang mati. ya mungkin, kematian lah yang baru bisa menyatukan kisah cinta Arial dan Arumi.

Apakah kisah mereka akan tetap seperti ini selamanya?

Jumat, 08 Juli 2011

Ketika Cinta Menyapa

Ketika Cinta Menyapa

Langit senja begitu gelap, hanya berhiaskan cahaya kilat yang sering terlintas. Suasana nampak sunyi dan tenang. Mulai terdengar suara angin yang mendesir, membawa aura dingin disudut kota. Sesekali juga terdengar suara gemuruh yang memecahkan keheningan, namun tetap tak merubah suasana yang kelam itu, ya sekelam hati ku. Aku masih termengu ditepi kamar, menikmati suasana sore dari balik jendela. Entah kebetulan atau tidak, hati ku merasakan suasana yang sama. Terasa emosi, sunyi, dan begitu sedih.
 Setitik demi setitik butiran air akhirnya jatuh ke bumi.  Bagiku hal itu sangat menyejukan hingga akhirnya aku menangis ditemani hujan. Menangis lepas merelakan apa yang terpendam dihati, jauh pergi bersama airmata. Suara hujan menutupi tangis senduku, hingga tak ada yang tahu aku sedang terenyuh dihari yang kelabu itu.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Aku terbangun dari tidur setelah lelah menangis, hal itu membuat perasaanku sedikit lebih nyaman. Ku rebahkan diri diatas kasur, berpikir lebih tenang dan menelusuri apa yang telah aku alami sebelumnya. Ya, aku baru saja patah hati. Hal itu yang membuat suasana hati begitu pilu.
Rayan, sahabat sekaligus teman pertama ku di kampus yang menjadikan ku begitu menyedihkan seperti ini.  Memang suatu kesalahan bagiku telah mencintanya. Dia adalah sahabat terbaik yang selalu mendukungku. Meski secara langsung kami memang jarang bertemu dan bercengkrama, tapi kehadiran dirinya tak pernah absen dalam dunia maya ku.
Kami memulai pertemanan dari saling chating di facebook, membicarakan banyak hal seputar dunia kampus. Tidak lama kemudian, akhirnya dia mulai berani menceritakan tentang hal pribadinya kepadaku. Dia bercerita tentang setiap gadis yang sedang ditaksirnya. Hingga pada perjumpaan pertamapun masih terkesan kaku, namun dia yang dengan keramahnnya telah mencairkan susana. Tak pernah kuduga hingga aku mulai jatuh pada pesonanya. Mungkinkah ini sebuah karma . Pada mulanya aku telah membatin dalam hati takkan pernah jatuh cinta pada sahabat sendiri. Namun apa daya, begini besar kah kekuatan cinta yang menyapa hingga mampu meruntuhkan sebuah komitmen yang telah terjaga.
Pada suatu malam kudapati sebuah kabar yang kurang mengenakan. Distatus Rayan yang begitu sederhana tersirat begitu banyak tanya dibenakku. Hanya sepenggal kalimat “Hari terindah” mampu mengajak ku ke sebuah dimensi lain yang penuh tanda tanya. Menggerakan hati untuk terus menemukan jawaban dari sekian tanya, memaksa ku harus menyelidiki apa yang sedang terjadi. Hari demi hari berlalu, akhirnya aku mulai mendapati seberkas cahaya kebenaran. Entah mengapa aku tertuju pada sebuah profil bernama “Ninda sarah ayu” , wanita yang selalu mengikuti perkembangan Rayan di facebook. Terlebih lagi status Rayan sebelumnya ternyata berkaitan dengan Ninda. Akhirnya mulai kusadari, setelah munculnya Ninda, Rayan sudah jarang menyapa ku d facebook. Beberapa hari kemudian aku begitu senang akhirnya Rayan kembali menyapa ku setelah hampir seminggu kami tak pernah bertemu dan mengobrol meski hanya dalam dunia maya. Namun kenyataan memang tidak selalu manis. Dia menyapaku hanya ingin berbagi kebahagiaan bahwa dia telah menemukan pasangan, setelah tiga kali patah hati oleh wanita yang berbeda. Ya aku tahu ketiga wanita itu karena aku tempatnya berbagi kisah. Tak demikian dengan Ninda, tak pernah sedikitpun dia bercerita tentang Ninda. Akhirnya aku benar-benar patah hati sebelum aku berani untuk terus mencintanya.
Aku benar-benar kecewa hingga aku menutup akun facebooku agar tak lagi mengingat kenangan indah bersamanya. Di kampuspun aku terus menghindari Rayan. Berkat kebodohan ku yang datang terlambat, akhirnya aku berpapasan dengan Rayan dan Ninda yang baru tiba dikampus. Aku tak bisa melarikan diri karena mereka telah terlanjur melempar senyum padaku. Rayan menghampiriku, sedangkan Ninda pergi ke kelasnya dan meninggalkan kami berdua.
Rayan mengajak ku bicara di taman kampus, tempat favorit kami bertemu. Dia menyadari akun facebook ku yang tak lagi aktif.
“ Semalam ku pikir kamu sedang offline, awalnya aku memang heran seorang Rivi bisa absen dari dunia maya. Namun ternyata aku tak menemukan profil mu. Apa kau menghapusnya “ – Tanya Rayan padaku.
“aku hanya mulai jenuh ... “ – jawab ku.
Rayan seakan tak yakin dengan jawabanku. Aku tetap diam seribu bahasa setelah kalimat terakhir itu. Dalam suasana yang genting seperti itu, Ninda datang diantara kami. Akhirnya aku menyaksikan sendiri kemesraan mereka. Harus ku akui mereka pasangan serasi. Tapi entah mengapa aku tak sanggup untuk terus menatap mereka, segera aku pun beranikan diri pergi dari hadapan mereka.
                Rayan mengirimi ku email yang penuh dengan pertanyannya. Dia masih tak percaya bahwa aku rela menghapus akun facebook ku.  Lagi-lagi aku hanya menjawab dengan alibi ku saja. Dan yang sangat menyakitkan, dia melanjutkan email kami dengan menceritakan perkembangan hubungannya dengan Ninda. Seandainya dia tahu, butuh kekuatan besar bagiku untuk mengetik huruf demi huruf hingga terangkai kalimat ‘baguslah, semoga kalian bahagia dan langgeng’.
                Kembali di kampus, entah mengapa disaat aku begitu ingin menghindarinya, justru Nasib semakin sering mempertemukan kami. Aku hendak menghindar, namun dia berhasil meraih tangan ku dan menarik diriku ke suatu tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama. Tempat yang cukup sepi, yang orang pun akan berpikir ulang untuk mendatanginya, yaitu gedung tua belakang kampus. Disana dia menciumku. Aku sangat terkejut namun tak bisa berbuat apa-apa. Sesungguhnya aku sangat jijik dengan kelakuannya itu namun dirinya merengkulku kuat. “RAYAN !” terdengar suara keras memanggil dirinya. Dan betapa kagetnya kami ternyata itu Ninda bersama teman-temannya. Ternyata Ninda melihat Rayan menarikku dan mengikuti kami hingga ke tempat itu. Aku sangat malu dan merasa sangat rendah dihadapan Ninda. Aku juga begitu marah pada sikap Rayan. Tanpa kusadari, akhirnya aku menampar Rayan begitu kencang, dan aku lari meninggalkan mereka. Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya diantara mereka.
                Aku tak meneruskan perkuliahan ku dan memilih untuk pulang. Perasaanku sangat kacau. Setibanya di rumah aku masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Jiwaku benar-benar terguncang. Aku patah hati sekaligus benci. Ku kunci pintu kamar, tak menyauti sapaan adikku, bahkan ibuku. Ku memilih untuk diam di pinggir jendela mengamati langit yang sekelam hati ku saat itu. Hingga ku menangis dan tertidur lelap. Akhirnya kusadari diriku yang sedang patah hati. Menelusuri kesedihanku hanya membuat ku kembali menangis. Ya kali ini tangisku benar-benar kering karena airmata sudah kuhabiskan sejak seharian ini.
                Saat ini juga aku ingin mencurahkan perasaanku di blog pribadi. Namun ada yang membuat ku menarik, yaitu adanya komentar pada postinganku sebelumnya. Dan betapa terkejutnya diri ku ternyata Rayan yang berkomentar 10 jam yang lalu.

‘ketika cinta menyapamu, kau tak bisa menolak..
Begitu pun sakit yang kau dapati..
Cinta yang tak pernah mati adalah cinta yang tulus kau beri..
Meski pahit yang kau terima..

Seorang sahabat telah meninggalkan Cinta dihatiku..
Namun dia pergi dengan cintanya yg lain..
Apa aku pantas marah ?
Tentu tidak karena cinta telah menyapaku

-Rivi , 28 Januari 2011
Post 02.00

______Rayan Sansikta, 28 Januari 2011
                09:00
                Ketika sahabat mampu mengedalikan cinta..
                Menyapa dirimu dengan cintanya..
                Atas kehendaknya..
                Mampukah dirimu menerima..?

“RIVI....!” – Teriakan ibu membuyarkan segalanya.
“Cepat turun, kau belum makan sedari pulang kuliah !”. aku tak meyauti panggilan ibu.
“Rivi, cepat turun. Disini juga ada teman mu yang sedang menunggu” Ibu memanggil kembali.
Penasaran dengan seorang teman yang menungguku, akhirnya aku keluar kamar dan menghampiri ibu di ruang makan. Ternyata Rayan sudah duduk manis diantara keluargaku. Ibu menawarinya makan malam, dan kami pun makan bersama.  Setelah selesai makan, kami bicara berdua diteras depan rumah.
“Kau masih marah, Rivi ?”
“Ya...”
“Maaf !”
“...”
“Mengapa kau tak juga minta maaf padaku ?”
“Untuk apa, Rayan ?”
“Kau tak pernah jujur atas perasaanmu. Aku tahu kau mencintaiku. Namun kau memendamnya dan tak mengatakannya padaku. Apa kau pikir aku senang seperti itu ?”
“Kau tahu dari blog pribadiku ?”
“Iya, kau sudah membaca komentar ku ?. Seharusnya yang kulakukan tadi siang kau sudah mengerti dari maksud komentar yang kuberikan”
“Maaf Rayan, aku baru saja membacanya, dan maaf aku sama sekali tidak mengerti”
“Kenapa sih kamu ini begitu payah !. Sudah jelas-jelas aku menyangkal pendirianmu. Karena memang ternyata aku tidak bisa kalau bukan sama kamu. Bukan hanya kamu yang tersapa cinta, ternyata aku juga. Aku hanya baru saja tersadar.”
“Bagaimana dengan Ninda ?”
“Aku sudah memutuskannya siang itu juga”
“..........”
“Mengapa kau hanya diam ? . Apa kah aku sudah terlambat, Rivi ?”
“bukan itu. Aku hanya bingung harus bagaimana. Baru saja aku menangis dan merenung untuk berusaha ikhlas merelakanmu. Tapi justru kau hadir saat ini juga. ”
“ini adalah takdir. Tuhan tahu kau tak akan mampu, maka mengirim diriku untuk kembali padamu. Jangan lagi menangis, aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Kami berpelukan erat. Aku sangat bahagia. 28 januari yang begitu kontras. Berbagai macam perasan bercampuk aduk dari marah, benci, emosi, jijik, sedih, patah hati, hingga bahagia yang tiada duanya. Aku benar-benar tak menyangka ini akan terjadi padaku. Aku dapat memeluk erat orang yang paling kucinta. Langit malam yang sangat cerah setelah hujan tadi, menggambarkan susana hatiku saat ini. Bintang-bintang menghiasi malan terindah kami. Rayan menciumku (lagi) namun jauh lebih romantis. Tanpa paksaan, tanpa rasa jijik. Aku sangat menikmatinya. Tuhan telah  menunjukan kebesarannya pada ku. terhadap orang yang percaya akan kebesaran cinta.

Gadis itu Bernama Trixie

Hai-hai, cerita ini masih berkaitan sama cerita sebelumnya yang berjudul Kejujuran yang Tercinta . Bisa dikatakan sequel tapi ini lebih mengarah pada cerita dari sudut pandang Stefan, sang tokoh utama pria. Ceritanya lebih to the point tapi lebih mendetail. Tapi supaya lebih ngerti jalan ceritanya, ada baiknya baca cerita pertama dulu di sini . Oke makasih Selamat menikmati.

 Gadis itu Bernama Trixie  
(Another Version of Kejujuran yang Tercinta)

            Nama gadis itu Terecia Auxy Paramitha, sebuah nama yang indah dan memang cukup rumit untuk mengingatnya. Tapi seumur hidupku aku tidak akan pernah lupa. Dan bagaimanapun aku memang tidak bisa lupa, karena setiap hari ada yang selalu mengingatkannya. Dia adalah Om Will, adik mama ku yang tinggal di Indonesia, dia kembali ke Inggris dan tinggal bersama keluarga besar kami untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Om Will lah sang cupid yang telah menancapkan panah di dadaku untuk seorang gadis yang sama sekali belum pernah ku temui. Seorang gadis bernama Terecia Auxy Paramitha. Trixie, begitulah Om Will memanggilnya. Nama itu selalu bermain di imajinasi ku.
            Ketika aku baru memasuki tingkat 10, Om Will tiba di Inggris. Aku senang Om Will kembali ke Inggris, karena kami sudah sangat lama tidak berjumpa. Om Will sudah 5 tahun lebih merantau  ke Indonesia dan tinggal bersama salah satu kerabat kami di Jakarta. Maka dari itu aku sangat rindu dengannya. Kami termasuk dekat, karena jarak umur kami yang tidak terlalu jauh. Karena begitu bahagianya menanti Om Will kembali, aku sampai izin dari sekolah ku untuk ikut bersama keluarga besarku menjemput Om Will di Bandara. Aku benar-benar tak sabar kala itu. Dan ketika Om Will mulai menghampiri kami yang menjemputnya, aku lah orang pertama yang dipeluknya. Terlihat jelas wujud kekecewaan keluarga ku yang lain, tapi mereka tetap melontarkan senyum karena Om Will telah hadir kembali di antara kami.
            Setiap malam aku tidur dengan Om Will, tapi kami tak pernah benar-benar tidur meskipun keesokan harinya kami harus beraktivitas seperti sekolah dan kuliah. Kami menghabiskan malam dengan saling bercerita, tapi dibandingkan untuk bercerita aku lebih tertarik dengan mendengar cerita Om Will selama tinggal di Indonesia. Mendengar kisahnya disana, aku sangat tertarik dan iri pada Om Will. Disana ia memiliki sahabat yang bernama Liona dan Viro , persahabatan mereka terdengar sangat menyenangkan dan hangat sekali. Dan aku sempat takjub ketika mengetahui bahwa Liona dan Viro akhirnya menikah, semua itu berkat Om Will. Lalu ada cerita yang lebih membuat ku menarik, tentang kisah cinta Om Will yang penuh dilemma.
            Om Will sangat dekat dengan keluarga Liona. Saat itu Liona tinggal bersama keluarga kakaknya di Jakarta. Kakak Liona  memiliki anak wanita yang masih belia. Om Will sangat perhatian pada anak itu. Hubungan mereka juga sangat akrab. Namun entah siapa yang harus disalahkan, Om Will akhirnya benar-benar terpesona oleh sang gadis yang masih sangat polos itu. Padahal saat itu Om Will sudah memiliki kekasih yang merupakan teman kuliahnya. Om Will sendiri sebenarnya tidak berani menyebut itu cinta, dia tetap menganggap gadis itu sebagai adik atau keponakannya. Setiap malam Om Will selalu menceritakan tentang gadis itu, dibanding kekasihnya yang di Jakarta. Dia selalu menyebut nama jelas gadis itu. Dan tak jarang pula dia menyebut nama kecilnya, “Trixie”. Selang waktu berjalan aku mulai terbiasa dengan nama itu. Bahkan aku sangat antusias ketika Om Will mulai memanggil lagi nama itu  pada seorang gadis yang berada dalam pikirannya.
            Trixie, Seorang gadis yang sangat lucu dan periang. Namun dia sangat kaku dan ceroboh. Dari luar dia nampak seorang gadis yang kuat, dan sok jago, padahal sebenarnya dia sangat cengeng dan gampang sekali menangis. Bukan hanya itu, dia terlihat sangat angkuh dan cuek, bisa dikatakan sombong, tapi bila sudah mengenalnya dia sangat hangat dan baik hati. Ada yang lucu dari dirinya, ketika dia marah, wajahnya akan merah dan dahinya berkerenyit, dan dia akan mulai mengeluarkan kata-kata kemarahannya tanpa jeda. Sangat lucu, pada akhirnya dia akan kelelahan sendiri. Benar-benar gadis yang sangat unik. Begitulah Om Will menceritakan tentang bagaimana Trixie mempesonanya. Tanpa Om Will sadari, sebenarnya aku pun mulai terpesona pada Trixie. Meski ku tak pernah melihat wajahnya dan bicara dengannya, tapi bayangnya selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Om Will sukses membuat ku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya di usia 15 tahun. Aku pun tak pernah memberitahu Om Will mengenai perasaan ku pada Trixie, aku takut dia kecewa karena aku juga jatuh hati pada gadis kecil kesayangannya.
            Beberapa tahun kemudian Om Will akhirnya menikah dengan kekasih lamanya. Ia sukses menjalin hubungan jarak jauh antara Inggris dan Indonesia selama empat tahun. Om Will menggelar resepsi pernikahan di Surabaya, kota dimana sang istri tinggal. Sebelumnya Om Will sudah mempunyai rumah disana yang sengaja disiapkan untuk acara ini. Om Will memang orang hebat, dia sangat mandiri. Setelah mengetahui Om Will akan menikah aku merasa lebih bebas untuk menyukai Trixie. Tak ada lagi yang menghalangiku, namun aku tetap tak berani bilang yang sejujurnya pada om Will. Dan yang membuat ku senang adalah ketika aku mengetahui bahwa Liona dan Viro, sahabat Om Will, kini juga tinggal di kota yang sama. Dan Trixie meneruskan kuliah di salah satu Universitas negeri disana dan tinggal bersama mereka. Aku mengetahui itu dari email yang dikirimkan Liona untuk Om Will sebelum Om Will menikah, lalu Om Will menunjukannya pada ku, awalnya sebelum mengetahui itu semua aku tidak terlalu peduli, namun Om Will memamerkan sesosok gadis manis dengan rambut panjang terurai dan tubuh yang sedikit gemuk, dan itu adalah Trixie. Aku merasa sepertinya Tuhan telah memberi ku jalan. Aku segera meminta izin pada orangtua ku untuk melanjutkan kuliah di Surabaya. Awalnya sangat sulit tapi untunglah Om Will membantu ku dan mempermudah itu semua.
            Dipesta pernikahan Om Will aku sibuk mencari sesosok gadis yang tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu putih. Memang sulit mencari ciri-ciri seperti itu di Indonesia karena hal itu adalah ciri-ciri umum wanita disini. Tapi aku masih ingat jelas wajah manis Trixie dengan pipi chubbynya, itu lah yang membuat ku masih semangat mencarinya diantara ratusan tamu undangan. Setelah lama mencari, akhirnya aku melihat Liona dan Viro datang hendak menghampiri mempelai. Dan dibelakang mereka, ada seorang gadis yang sedang melihat keadaan sekitar dengan wajah penuh takjub. Matanya terlihat berbinar, senyumnya merekah. Apakah itu Trixie, aku juga belum pasti. Namun ketika wanita itu menghadap ke arah depan, aku pun yakin, kalau dia adalah Trixie. Tapi anehnya, bukannya menghampiri dan mengucapkan salam pada mempelai dia justru pergi ke kebun belakang yang sepi yang letaknya bersebrangan dengan arena pesta. Aku pun menghampirinya. Jantungku berdetak sangat kencang, wajahku mulai terasa panas. Aku benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Tapi aku juga tak sabar untuk menggodanya dan melihat wajah amarahnya yang lucu dan menggemaskan.
            Aku berhasil menggodanya, dan juga membuatnya marah bahkan ketakutan. Semua yang dikatakan Om Will tentang Trixie benar. Awalnya dia terlihat sangat angkuh, dan sok kuat, tapi ternyata sangat pengcut. Begitupun ketika sedang marah, ah aku bahkan tak bisa manahan tawaku. Alhasil Trixie benar-benar marah padaku. Tapi aku tetap senang. Sekali lagi aku jatuh hati pada Trixie. Jatuh hati bukan hanya pada sebuah nama yang selalu bermain di imajinasiku, tapi kini pada seorang gadis yang nyata yang bisa ku sentuh dan ku cium aromanya. Akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Swasta di Surabaya, namun yang jadi permasalahannya adalah aku tidak tahu harus tinggal dimana apalagi sebelumnya aku tidak pernah ke Surabaya. Awalnya aku akan tinggal bersama Om Will dan istrinya di rumah megah tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung, namun ternyata kontrak kerja Om Will di Inggris diperpanjang sampai beberapa tahun ke depan. Tinggalah aku yang tak tahu bagaimana nasib ku nanti.
            Tuhan sekali lagi memberiku jalan untuk semakin dekat dengan Trixie, berkat Om Will aku diizinkan untuk tinggal dengan keluarga Liona. Itu berarti aku juga akan serumah dengan Trixie. Aku senang bukan kepalang, untuk memikirkan sejauh ini saja aku belum pernah. Tapi ya aku nikmati saja rizky Tuhan yang satu ini. Namun pertama kali melihat keberadaanku, Trixie sudah menujukan wajah tidak senangnya, dan bodohnya aku menambahkannya dengan bicara yang tidak enak padanya. Jadilah dia sangat marah padaku di depan Liona dan Viro. Liona pun kembali memarahi Trixie, dan akhirnya mereka justru berdebat. Viro pun menengahi mereka. Liona mencoba untuk sabar dan menjelaskan semuanya pada Trixie. Trixie terlihat sangat shock dan terpaksa menerima itu semua.
            Setiap hari aku hanya mengucap syukur pada Tuhan, karena dapat selalu melihat Trixie, dan sesekali aku menggodanya. Kami selalu saja bertengkar, karena pada awalnya aku memang sengaja mencari masalah agar melihat Trixie ketika marah. Dan ketika berhasil melakukan itu, aku tak membalas semua ocehan dan kemarahan Trixie, aku hanya tertawa terbahak-bahak. Setelah itu Trixie akan pergi meninggalkan ku dengan suatu tanda yang ditinggalkannya, seperti gebrakan pintu, atau lemparan bantal sofa. Pada suatu pagi aku melihat Trixie sedang kebingungan, ternyata ban sepedanya kempis. Sepertinya dia sudah hampir telat kuliah makanya wajahnya terlihat sangat panik. Aku pun menawarkannya untuk mengantarkan dia ke kampus dengan sepeda motorku. Tanpa pikir panjang dia segera menolaknya. Padahal dia sudah hampir telat, tapi dia lebih memilih tidak kuliah dari pada harus pergi bersama ku. Sebenarnya aku agak kecewa, tapi Trixie orang yang sangat keras, jadi sebaiknya aku biarkan saja, karena ku paksa pun itu sepertinya akan percuma. Begitu pula pada kejadian di waktu sore. Aku sudah tiba di rumah sebelum akhirnya hujan turun dengan derasnya. Setibanya di rumah aku tak melihat Trixie dan sepdanya, kurasa dia masih di kampus. Setelah ku menunggu setengah jam hujan tak juga reda, dan Trixie tak juga pulang, aku sangat yakin dia terjebak hujan. Aku sangat cemas, tanpa pikir panjang aku segera menjemputnya.
            Aku menelusuri jalan sejauh 2 km untuk tiba di kampus Trixie. Ku terobos hujan dan angin demi menjemputnya. Saat itu sebenarnya aku sudah merasakan sangat kedinginan, karena meskipun aku menggunakan mantel, tapi angin dan hujan tetap sangat terasa. Setibanya aku melihat sosok Trixie yang duduk termenung di koridor utama. Aku menghampirinya, namun sudah disambut dengan wajah juteknya. Aku pun agak kesal, aku sudah bersusah payah menjemputnya tapi disambut dengan tidak enak. Akhirnya aku berbohong dan mengatakan kalau ini adalah suruhan Liona. Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, dia tidak mau untuk ku bonceng dengan sepedanya. Benar-benar gadis yang keras. Alhasil sekali lagi aku menempuh jarak 2 km dengan berjalan kaki sambil menuntun sepedanya, dan dia berjalan dibelakangku dngan menggunakan mantel dan payung. Aku merasakan semakin dingin, angin terasa menusuk tulang ku. Tapi aku terus berusaha untuk sampai tiba di rumah. Aku tak ingin membuat Trixie cemas, tapi senadainya saja dia mau ku bonceng, setidaknya kami tidak akan terlalu lama berada dibawah hujan seperti ini.
            Akhirnya aku jatuh sakit, badan ku terasa dingin, namun kepala ku terasa sangat panas.Sekujur tubuh ku menggiggil, baru kali ini aku merasa semenderita ini. Ku lihat Viro dan Liona dengan tekun menngompres diriku dan berada disamping ku semalaman. Namun aku tak menemui sosok Trixie. Andai saja Trixie juga peduli pada ku dan berada disamping ku kini, aku pasti akan lebih kuat menghadapi rasa sakit ini. Aku benar-benar menderita. Viro dan Liona mulai terjaga, sedangkan aku sulit sekali untu tidur.Sudah kuusahakan untuk menutup mata, tapi rasa sakit ini membuyarkan segala rasa ngantuk ku. Namun di tengah malam aku mendengar suara tangis. Dan itu adalah Trixie, suara tangis yang terdengar sangat menyedihkan, aku merasakan itu. Dan yang membuat aku terkejut ternyata Trixie menangis untuk ku. Dia menyesal atas segala perbuatannya. Aku sangat lega mendengar itu semua. Ternyata Trixie masih peduli pada ku.  Namun keesokan harinya Trixie sangat penuh dengan kebohongan. Ketika dia mengantarkan bubur, dan mengatakan kalau itu adalah buatan Liona, aku tahu dia berbohong karena Liona sudah pergi kerja sebelum dia bangun. Begitu pula dengan tangisannya semalam, dia tidak mengakuinya. Oh Trixie, seberat itukah kesalahanku sehingga kau bahkan tak sudi untuk menunjukan kebaikan mu padaku. Akhirnya aku tersadar, mungkin selama ini aku sudah keterlaluan dan membuatnya benci padaku, tapi aku juga marah padanya karena selalu saja berbohong.
            Semenjak kejadian itu aku mulai berubah sikap pada Trixie. Aku tak lagi menggodanya bahkan mengajak bicarapun seperlunya. Tapi sikapnya masih saja tak pernah berubah, nampak sangat membenciku. Ternyata Tuhan hanya memberikan jalan, tetap aku sendiri lah yang harus melewatinya, dan itu sangat tidak mudah. Aku berusaha tak peduli pun tidak mungkin, karena Trixie masih tak bisa melakukan segalanya sendiri. Aku hanya hadir ketika ku rasa aku pantas hadir. Aku tak mau dianggap Trixie sebagai pengganggu. Aku akan mendekatinya ketika sepertinya dia membutuhkan  bantuan. Misalnya seperti menyusun skripsi. Ku akui dia sangat bodoh dalam hal itu. Menyusun sistematikanya saja dia tidak bisa, entah apa yang dia lakukan selama ini di perkuliahannya.
            Dan tanpa terasa aku pun tiba di hari kelulusan ku. Aku berhasil lulus sebagai arsitek dengan prestasi yang cukup membanggakan. Banyak sekali tawaran kerja mengalir kepada ku. Sebenarnya itu semua sangat menarik. Tapi aku tak bisa menerima satu pun dari itu semua karena aku telah memutuskan untuk kembali ke Inggris minggu depan. Jujur saja, aku sudah betah tinggal di Surabaya. Teman-teman yang baik dan ramah, Keluarga Liona dan Viro yang sangat menyayangiku, dan segala kemudahan-kemudahan yang aku dapati. Tapi itu semua tak berhasil menutupi rasa sakit hati ku. Bagaimana mungkin aku akan bertahan lebih lama disini dengan sikap Trixie yang semakin hari semakin membenciku. Aku menggodanyanya, dia malah marah padaku. Aku mendiamkannya, dia pun mendiamkan ku balik, bahkan aku berbuat baik padanya, itu tak sedikitpun mengubah sikapnya padaku. Aku sudah tak sanggup lagi hidup dalam kebencian orang yang paling aku sayangi. Dua setengah tahun sudah kulalui bersamanya, meskipun sakit tapi semua kenangan yang ada bersamanya sangat berkesan bagiku. Meskipun mungkin dia beranggapan bahwa waktu dua setengah tahun itu telah membunuh kebahagiannya, semua karena kehadiranku. Lebih baik aku pergi secepatnya dan enyah dari hidupnya agar kami tak lagi saling menyakiti.
            Akhirnya aku pun harus pergi dari Indonesia. Trixie,  Viro, Liona, dan Om Will serta istrinya yang sudah kembali tinggal di Indonesia mengantarku ke bandara. Waktu keberangkatanku tinggal beberapa menit lagi, lalu ku beranikan diri untuk menyatakan perasaan ku pada Trixie. Aku menarik tangannya dan membawanya ke suatu tempat terpisah dengan Liona, Viro, dan Om Will. Disana aku mengungkapkan segala perasaanku padanya, sejak pertama kali aku mencintainya, alasan mengapa aku menggodanya, dan rasa bersalahku karena telah menimbulkan kebencian pada dirinya. Sejujurnya aku ingin menangis ketika mengatakan itu semua. Aku terharu dan merasa lega, tapi akau juga sakit harus menerima kenyataan patah hati seperti ini. Setalah aku puas mengungkapkannya, aku meninggalkannya. Dan Trixie tetap diam di tempatnya tak bergeming sedikitpun. Mungkin dia shock karena aku telah lancang mengungkapkan cinta secara tiba-tiba.
            Selama perjalanan berjam-jam di pesawat, aku hanya mendengarkan musik sambil menutup mataku. Mengenang dua setengah tahun yang aku lewati, dan juga mengenang empat tahun sebelumnya, pertama kali aku mencintai Trixie. Tidak pernah aku bayangkan, aku sudah mencintainya enam setengah tahun, dan sampai sekarang pun perasaan itu tak pernah berubah, masih sama. Dalam diam, aku pun mulai menangis. Lagu yang terputar saat itu hanya sebuah lagu instrumental namun mampu mengacak-ngacak perasaanku hingga terbaw adalam suasana seperti ini. Aku terus diam dan memejamkan mataku, membiarkan airmata ini jatuh sedikit demi sedikit. Yah tak ada salahnya kan kalau seorang pria juga menangis. Karena menangis bukan berarti menjadikan ku sebagai seorang pecundang, tapi dengan menangis, itu tandanya aku menghargai segala sesuatu yang kuanggap berarti.
            Ternyata melupakan cinta pertama itu sangat sulit, meski aku sudah sangat sibuk menyelesaikan proyek-proyek ku di Inggris, aku masih saja belum bisa melupakan Trixie. Dia kembali bermain dalam imajinasiku. Sudah dua tahun ku tak melihatnya, bagaimanakah keadaanya sekarang, apakah dia semakin gemuk. Ya kini bayang-bayangnya mulai lagi bermain dalam imajinasiku. Pasti sekarang dia sudah mempunyai kekasih yang tampan dan mapan, atau bahkan mungkin dia sudah menikah, mempunyai anak dan hidup bahagia. Entahlah membayangkan itu, hatiku semakin sakit. Aku bahkan tidak sanggup untuk tidak mebayangkannya sekali saja meski harus sakit yg aku rasa. Mungkinkah aku akan menjadi bujang selamanya karena tak mampu mengenyahkan setiap bayang Trixie.
            Pada suatu waktu, Adik sepupu ku menikah. Dia menikah dengan seorang gadis Indonesia yang dikenalkan Om Will dan masih saudara jauh dengan istri Om Will, mereka akan menggelar resepsi pernikahan di kediaman Om Will. Akhirnya aku dan keluarga besar ku datang lagi ke Indonesia untuk mempersiapkan dan menghadiri pesta pernikahan itu. Ku dengar dari Tante (istri Om Will), Om Will menundang Liona dan Viro. Namun dia menambahkan lagi, Trixie tak akan hadir karena Trixie sudah kembali ke Jakarta tinggal bersama orang tuanya. Mendengar itu perasaanku agak kacau, anatar senang dan sedih. Tapi biarlah mungkin kami memang tidak berjodoh. Dan pesta pernikahan pun dimulai. Pesta ini sama seperti pesta pernikahan Om Will beberapa tahun lalu, sebuah pesta kebun di pinggir kolam renang, hanya berbeda pada penempatan waktu. Dahulu pesta berlangsung malam, namun sekarang pesta digelar siang hari. Semua pihak keluarga mengenakan pakaian yang seragam dengan mempelai, bernuansa putih-putih. Pesta ini terlihat lebih minimalis dan elegant. Jujur saja aku sangat iri pada adik sepupu ku, karena seharusnya aku lah yang lebih dulu menikah disini. Kenangan ku lebih banyak disini, dan apalagi aku yang lebih dulu jatuh cinta, tapi kenyataanya dia yang beruntung. Tuhan memberinya jalan yang lebih  mulus untuk mendapati kebahagian. Ya setiap orang memang memiliki jalan takdir yang berbeda. Aku tak boleh berpikir sepicik ini lagi.
            Ketika aku sedang menikmati pesta bersama keluarga ku, aku melihat Liona dan Viro datang. Sontak aku segera menghampiri mereka dan memeluknya. Aku sangat rindu pada mereka. Kami pun berbincang berempat, dengan Om Will. Disaat sedang asyik berbincang aku melihat seorang wanita yang sangat familiar, seorang wanita yang selama ini selalu aku rindukan. Dia adalah Trixie. Tapi benarkah itu Trixie ? bukankah dia di Jakarta. Lalu mengapa dia menggendong seorang anak kecil. Aku pun menanyakannya pada Liona, ya ternyata itu benar-benar Trixie. Berarti anak yang bersamanya adalah anak dia sendiri. Benar bayanganku selama ini, pasti dia sudah menikah dan hidup bahagia. Aku kecewa. Benar-benar sangat kecewa. Namun disaat aku sedang terpaku menahan segala rasa kecewaku, ku dapati Viro dan Liona saling berbincang. Berbincang mengenai keberadaan anak mereka. “Pa, anak kita dimana ?” tanya Liona pada Viro. “Sepertinya sedang diajak jalan-jalan bersama Trixie”. Jawab Viro.
            Senyuman ku pun mulai tersungging, ternyata anak itu adalah anak Viro dan Liona. Lalu aku mencari Trixie, namun Trixie tak ada di arena pesta. Aku yakin sekali dia berada di gazebo belakang sama seperti kejadian beberapa tahun lalu. Aku pun hendak menghampirinya. Namun sbelum tiba sampai gazebo, aku melihat anak yang bersama Trixie tadi sedang berjalan sendiri menuju tepi kolam ikan. Ku gendongnya dia dan mebantunya mencari Trixie. Setibanya di Gazebo, Trixie tidak aku temukan. Aku sempat bingung kemana perginya dia, mengapa dia meninggalkan anak itu sendiri. Tak beberapa lama kemudian ada yang berteriak memanggil nama Calista. Setalah ku tengok, ternyata itu adalah Trixie. Dan pertemuan itu pun kembali terjadi. Namun dengan suasana yang lebih kaku. Aku memulainya mengajak bicara dengan ramah, namun dia hanya menjawab singkat, dan bahkan akhirnya kami saling berdiaman. Sepertinya dia sedang tidak ingin bertemu denganku, wajahnya terlihat merah. Terakhir kali kami bertemu adalah di bandara dua tahun lalu, mungkinkah dia masih kesal dengan kejadian itu. Oh Tuhan lagi-lagi jalan yang kau beri terlalu sulit ku lewati. Sekalinya aku bertemu kembali dengan Trixie, dan mengetahui dia masih single, tapi tetap saja cintanya tak bisa ku jangkau. Dia masih terlalu membenci ku. Akhirnya untuk menenangkan dirinya, aku menyuruh melupakan kejadian memalukan itu. Tapi respon dia malah tertawa terbahak-bahak. Spertinya dia puas sekali menertawai kenaasanku setelah ditolaknya dua tahun lalu. Aku benar-benar malu, ditertawai oleh wanita yang sudah menolakku. Aku pun beranjak pergi meninggalkannya.  Aku khawatir dengan Calista yang akan ditinggal lagi nanti olehnya, jadi kubawa Calista kembali ke orang tuanya. Baru saja aku tiba di tepi kolam renang arena pesta, Trixie berteriak kencang memanggil namaku. Dan hal itu pun terjadi. Hal dimana akhirnya dia mulai mengeluarkan segala kekesalannya pada ku.
            Suasana mulai mengharubiru ketika Liona dan Calista mulai menagis dipelukan Viro, dan Trixie meminta maaf telah membuat mereka malu. Namun Viro memberi kesempatan untuk Trixie agar lebih jujur pada perasaanya, dia tahu Trixie masih menyimpan sesuatu dia hatinya. Akhirnya Trixie mengurangi emosinya namun tangisannya semakin terasa menyedihkan. Dan akhirnya dia berkata jujur pada ku bahwa dia juga menyayangiku. Selama ini segala wujud kebenciannya pada ku hanya sebagai kedok penyembunyi rasa gengsinya yang tinggi. Aku yang telah salah menafisrkannya itu. Dan bodohnya lagi, dia mengganggap hari ini adalah hari pernikahan ku. Aku benar-benar ingin tertawa. Dia sangat menggemaskan dengan wajah kacaunya seperti itu, lantas segera aku peluk dirinya. Dan ku bisiki keadaan yang sebenarnya. Mulai terdengar suara ria tamu undangan. Bahkan ada yang menangis terharu. Benar-benar sangat lucu kejadian ini semua.
            Akhirnya aku resmi menjalin hubungan dengan Trixie. Tapi aku masih harus meninggalkannya karena proyek ku di Inggris masih belum selesai. Aku pun berjanji padanya akan segera kembali dan melamaranya. Namun sebelum kepergianku, Trixie memberiku sebuah jaket kulit yang ternyata sudah dibelinya sejak dua tahun lalu namun tak sempat ia berikan kepada ku. Aku pun terharu namun agak kesal karena kegengsiannya dia, jaket yang harusnya saat itu ngetrend dua tahun lalu, kini menjadi sangat kuno. Tapi biarlah ini tetap sangat berarti bagi ku karena merupakan hadiah pertama yang Trixie berikan padaku. Aku kembali ke Inggris bersama Om Will. Di bandara, aku diintograsi panjang lebar olehnya. Aku lupa bahwa sampai saat kejadian di pesta pernikahan adik sepupu ku itu, Om Will masih belum tahu perasaan ku yang sebenarnya terhadap Trixie. Alhasil habislah aku dijitaki oleh Om Will karena dianggap sebagai pengkhianat. Namun Om Will senang karena akhirnya dia bisa melihat Trixie bahagia dengan orang yang dia anggap mampu membahagiakan Trixie, yaitu aku Stefano Herlington hehehe. Bahkan yang mengejutkan lagi adalah Om Will berjanji akan  memberikan rumah megah itu kepada ku dan Trixie setelah kami menikah. Itu adalah wujud apresiasinya terhadap kami, karena rumah itu pertama kali bertemu, dan pertama kali meresmikan hubungan. Om Will akan menetap di Inggris bersama sang Istri. Aku rasa Om Will melakukan itu semua karena patah hati dan tidak mau terus-terusan melihat aku dan Trixie hidup bahagia. Maka dari itu dia mengalah dan memilih menghindar. Walau begitu Om Will adalah cupid terselubung yang sangat hebat. Waktu lalu dia berhasil menyatukan Liona dan Viro, lalu adik sepupuku dengan istrinya. Kini tanpa disadari dia telah menyatukan ku dengan gadis kecil yang paling disayangnya, yaitu Trixie.
            Pada akhirnya kami pun menikah di rumah itu pula. Bedanya, kami menggelar pesta di kebun belakang yang terdapat gazebo, bukan di tepi kolam renang seperti sebelumnya. Semua tamu datang membawakan sejuta kebahagiaan bagi aku dan Trixie. Lalu kami memulai kehidupan baru, tapi bukan di rumah itu. Aku membangun rumah sendiri yang lebih kecil dan sederhana. Sebagai seorang arsitek aku ingin membangun rumah ku sendiri, karena itu akan terasa lebih berarti. Aku juga tidak mau rumah sebesar itu, apalagi aku hanya tinggal berdua dengan Trixie. Lebih baik yang kecil saja agar lebih terasa kehangatannya. Akhirnya rumah itu ditempati keluarga besarku yang di Inggris, mereka semua pindah ke Indonesia. Jadilah disana Om Will hanya seorang diri karena istrinya pun ikut tinggal bersama keluarga ku di rumah itu. Kasian Om Will haha.  Seandainya Om Will Tahu, dia termasuk orang yang sangat beruntung, karena dia adalah cinta pertama Trixie. Tapi sebaiknya aki tidak membertitahunya, meski aku cemburu tapi bagaimana pun Aku lah cinta terakhir Trixie J