Hai-hai, cerita ini masih berkaitan sama cerita sebelumnya yang berjudul Kejujuran yang Tercinta . Bisa dikatakan sequel tapi ini lebih mengarah pada cerita dari sudut pandang Stefan, sang tokoh utama pria. Ceritanya lebih to the point tapi lebih mendetail. Tapi supaya lebih ngerti jalan ceritanya, ada baiknya baca cerita pertama dulu di sini . Oke makasih Selamat menikmati.
Gadis itu Bernama Trixie
(Another Version of Kejujuran yang Tercinta)
Nama gadis itu Terecia Auxy Paramitha, sebuah nama yang indah dan memang cukup rumit untuk mengingatnya. Tapi seumur hidupku aku tidak akan pernah lupa. Dan bagaimanapun aku memang tidak bisa lupa, karena setiap hari ada yang selalu mengingatkannya. Dia adalah Om Will, adik mama ku yang tinggal di Indonesia, dia kembali ke Inggris dan tinggal bersama keluarga besar kami untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Om Will lah sang cupid yang telah menancapkan panah di dadaku untuk seorang gadis yang sama sekali belum pernah ku temui. Seorang gadis bernama Terecia Auxy Paramitha. Trixie, begitulah Om Will memanggilnya. Nama itu selalu bermain di imajinasi ku.
Ketika aku baru memasuki tingkat 10, Om Will tiba di Inggris. Aku senang Om Will kembali ke Inggris, karena kami sudah sangat lama tidak berjumpa. Om Will sudah 5 tahun lebih merantau ke Indonesia dan tinggal bersama salah satu kerabat kami di Jakarta. Maka dari itu aku sangat rindu dengannya. Kami termasuk dekat, karena jarak umur kami yang tidak terlalu jauh. Karena begitu bahagianya menanti Om Will kembali, aku sampai izin dari sekolah ku untuk ikut bersama keluarga besarku menjemput Om Will di Bandara. Aku benar-benar tak sabar kala itu. Dan ketika Om Will mulai menghampiri kami yang menjemputnya, aku lah orang pertama yang dipeluknya. Terlihat jelas wujud kekecewaan keluarga ku yang lain, tapi mereka tetap melontarkan senyum karena Om Will telah hadir kembali di antara kami.
Setiap malam aku tidur dengan Om Will, tapi kami tak pernah benar-benar tidur meskipun keesokan harinya kami harus beraktivitas seperti sekolah dan kuliah. Kami menghabiskan malam dengan saling bercerita, tapi dibandingkan untuk bercerita aku lebih tertarik dengan mendengar cerita Om Will selama tinggal di Indonesia. Mendengar kisahnya disana, aku sangat tertarik dan iri pada Om Will. Disana ia memiliki sahabat yang bernama Liona dan Viro , persahabatan mereka terdengar sangat menyenangkan dan hangat sekali. Dan aku sempat takjub ketika mengetahui bahwa Liona dan Viro akhirnya menikah, semua itu berkat Om Will. Lalu ada cerita yang lebih membuat ku menarik, tentang kisah cinta Om Will yang penuh dilemma.
Om Will sangat dekat dengan keluarga Liona. Saat itu Liona tinggal bersama keluarga kakaknya di Jakarta. Kakak Liona memiliki anak wanita yang masih belia. Om Will sangat perhatian pada anak itu. Hubungan mereka juga sangat akrab. Namun entah siapa yang harus disalahkan, Om Will akhirnya benar-benar terpesona oleh sang gadis yang masih sangat polos itu. Padahal saat itu Om Will sudah memiliki kekasih yang merupakan teman kuliahnya. Om Will sendiri sebenarnya tidak berani menyebut itu cinta, dia tetap menganggap gadis itu sebagai adik atau keponakannya. Setiap malam Om Will selalu menceritakan tentang gadis itu, dibanding kekasihnya yang di Jakarta. Dia selalu menyebut nama jelas gadis itu. Dan tak jarang pula dia menyebut nama kecilnya, “Trixie”. Selang waktu berjalan aku mulai terbiasa dengan nama itu. Bahkan aku sangat antusias ketika Om Will mulai memanggil lagi nama itu pada seorang gadis yang berada dalam pikirannya.
Trixie, Seorang gadis yang sangat lucu dan periang. Namun dia sangat kaku dan ceroboh. Dari luar dia nampak seorang gadis yang kuat, dan sok jago, padahal sebenarnya dia sangat cengeng dan gampang sekali menangis. Bukan hanya itu, dia terlihat sangat angkuh dan cuek, bisa dikatakan sombong, tapi bila sudah mengenalnya dia sangat hangat dan baik hati. Ada yang lucu dari dirinya, ketika dia marah, wajahnya akan merah dan dahinya berkerenyit, dan dia akan mulai mengeluarkan kata-kata kemarahannya tanpa jeda. Sangat lucu, pada akhirnya dia akan kelelahan sendiri. Benar-benar gadis yang sangat unik. Begitulah Om Will menceritakan tentang bagaimana Trixie mempesonanya. Tanpa Om Will sadari, sebenarnya aku pun mulai terpesona pada Trixie. Meski ku tak pernah melihat wajahnya dan bicara dengannya, tapi bayangnya selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Om Will sukses membuat ku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya di usia 15 tahun. Aku pun tak pernah memberitahu Om Will mengenai perasaan ku pada Trixie, aku takut dia kecewa karena aku juga jatuh hati pada gadis kecil kesayangannya.
Beberapa tahun kemudian Om Will akhirnya menikah dengan kekasih lamanya. Ia sukses menjalin hubungan jarak jauh antara Inggris dan Indonesia selama empat tahun. Om Will menggelar resepsi pernikahan di Surabaya, kota dimana sang istri tinggal. Sebelumnya Om Will sudah mempunyai rumah disana yang sengaja disiapkan untuk acara ini. Om Will memang orang hebat, dia sangat mandiri. Setelah mengetahui Om Will akan menikah aku merasa lebih bebas untuk menyukai Trixie. Tak ada lagi yang menghalangiku, namun aku tetap tak berani bilang yang sejujurnya pada om Will. Dan yang membuat ku senang adalah ketika aku mengetahui bahwa Liona dan Viro, sahabat Om Will, kini juga tinggal di kota yang sama. Dan Trixie meneruskan kuliah di salah satu Universitas negeri disana dan tinggal bersama mereka. Aku mengetahui itu dari email yang dikirimkan Liona untuk Om Will sebelum Om Will menikah, lalu Om Will menunjukannya pada ku, awalnya sebelum mengetahui itu semua aku tidak terlalu peduli, namun Om Will memamerkan sesosok gadis manis dengan rambut panjang terurai dan tubuh yang sedikit gemuk, dan itu adalah Trixie. Aku merasa sepertinya Tuhan telah memberi ku jalan. Aku segera meminta izin pada orangtua ku untuk melanjutkan kuliah di Surabaya. Awalnya sangat sulit tapi untunglah Om Will membantu ku dan mempermudah itu semua.
Dipesta pernikahan Om Will aku sibuk mencari sesosok gadis yang tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu putih. Memang sulit mencari ciri-ciri seperti itu di Indonesia karena hal itu adalah ciri-ciri umum wanita disini. Tapi aku masih ingat jelas wajah manis Trixie dengan pipi chubbynya, itu lah yang membuat ku masih semangat mencarinya diantara ratusan tamu undangan. Setelah lama mencari, akhirnya aku melihat Liona dan Viro datang hendak menghampiri mempelai. Dan dibelakang mereka, ada seorang gadis yang sedang melihat keadaan sekitar dengan wajah penuh takjub. Matanya terlihat berbinar, senyumnya merekah. Apakah itu Trixie, aku juga belum pasti. Namun ketika wanita itu menghadap ke arah depan, aku pun yakin, kalau dia adalah Trixie. Tapi anehnya, bukannya menghampiri dan mengucapkan salam pada mempelai dia justru pergi ke kebun belakang yang sepi yang letaknya bersebrangan dengan arena pesta. Aku pun menghampirinya. Jantungku berdetak sangat kencang, wajahku mulai terasa panas. Aku benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Tapi aku juga tak sabar untuk menggodanya dan melihat wajah amarahnya yang lucu dan menggemaskan.
Aku berhasil menggodanya, dan juga membuatnya marah bahkan ketakutan. Semua yang dikatakan Om Will tentang Trixie benar. Awalnya dia terlihat sangat angkuh, dan sok kuat, tapi ternyata sangat pengcut. Begitupun ketika sedang marah, ah aku bahkan tak bisa manahan tawaku. Alhasil Trixie benar-benar marah padaku. Tapi aku tetap senang. Sekali lagi aku jatuh hati pada Trixie. Jatuh hati bukan hanya pada sebuah nama yang selalu bermain di imajinasiku, tapi kini pada seorang gadis yang nyata yang bisa ku sentuh dan ku cium aromanya. Akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Swasta di Surabaya, namun yang jadi permasalahannya adalah aku tidak tahu harus tinggal dimana apalagi sebelumnya aku tidak pernah ke Surabaya. Awalnya aku akan tinggal bersama Om Will dan istrinya di rumah megah tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung, namun ternyata kontrak kerja Om Will di Inggris diperpanjang sampai beberapa tahun ke depan. Tinggalah aku yang tak tahu bagaimana nasib ku nanti.
Tuhan sekali lagi memberiku jalan untuk semakin dekat dengan Trixie, berkat Om Will aku diizinkan untuk tinggal dengan keluarga Liona. Itu berarti aku juga akan serumah dengan Trixie. Aku senang bukan kepalang, untuk memikirkan sejauh ini saja aku belum pernah. Tapi ya aku nikmati saja rizky Tuhan yang satu ini. Namun pertama kali melihat keberadaanku, Trixie sudah menujukan wajah tidak senangnya, dan bodohnya aku menambahkannya dengan bicara yang tidak enak padanya. Jadilah dia sangat marah padaku di depan Liona dan Viro. Liona pun kembali memarahi Trixie, dan akhirnya mereka justru berdebat. Viro pun menengahi mereka. Liona mencoba untuk sabar dan menjelaskan semuanya pada Trixie. Trixie terlihat sangat shock dan terpaksa menerima itu semua.
Setiap hari aku hanya mengucap syukur pada Tuhan, karena dapat selalu melihat Trixie, dan sesekali aku menggodanya. Kami selalu saja bertengkar, karena pada awalnya aku memang sengaja mencari masalah agar melihat Trixie ketika marah. Dan ketika berhasil melakukan itu, aku tak membalas semua ocehan dan kemarahan Trixie, aku hanya tertawa terbahak-bahak. Setelah itu Trixie akan pergi meninggalkan ku dengan suatu tanda yang ditinggalkannya, seperti gebrakan pintu, atau lemparan bantal sofa. Pada suatu pagi aku melihat Trixie sedang kebingungan, ternyata ban sepedanya kempis. Sepertinya dia sudah hampir telat kuliah makanya wajahnya terlihat sangat panik. Aku pun menawarkannya untuk mengantarkan dia ke kampus dengan sepeda motorku. Tanpa pikir panjang dia segera menolaknya. Padahal dia sudah hampir telat, tapi dia lebih memilih tidak kuliah dari pada harus pergi bersama ku. Sebenarnya aku agak kecewa, tapi Trixie orang yang sangat keras, jadi sebaiknya aku biarkan saja, karena ku paksa pun itu sepertinya akan percuma. Begitu pula pada kejadian di waktu sore. Aku sudah tiba di rumah sebelum akhirnya hujan turun dengan derasnya. Setibanya di rumah aku tak melihat Trixie dan sepdanya, kurasa dia masih di kampus. Setelah ku menunggu setengah jam hujan tak juga reda, dan Trixie tak juga pulang, aku sangat yakin dia terjebak hujan. Aku sangat cemas, tanpa pikir panjang aku segera menjemputnya.
Aku menelusuri jalan sejauh 2 km untuk tiba di kampus Trixie. Ku terobos hujan dan angin demi menjemputnya. Saat itu sebenarnya aku sudah merasakan sangat kedinginan, karena meskipun aku menggunakan mantel, tapi angin dan hujan tetap sangat terasa. Setibanya aku melihat sosok Trixie yang duduk termenung di koridor utama. Aku menghampirinya, namun sudah disambut dengan wajah juteknya. Aku pun agak kesal, aku sudah bersusah payah menjemputnya tapi disambut dengan tidak enak. Akhirnya aku berbohong dan mengatakan kalau ini adalah suruhan Liona. Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, dia tidak mau untuk ku bonceng dengan sepedanya. Benar-benar gadis yang keras. Alhasil sekali lagi aku menempuh jarak 2 km dengan berjalan kaki sambil menuntun sepedanya, dan dia berjalan dibelakangku dngan menggunakan mantel dan payung. Aku merasakan semakin dingin, angin terasa menusuk tulang ku. Tapi aku terus berusaha untuk sampai tiba di rumah. Aku tak ingin membuat Trixie cemas, tapi senadainya saja dia mau ku bonceng, setidaknya kami tidak akan terlalu lama berada dibawah hujan seperti ini.
Akhirnya aku jatuh sakit, badan ku terasa dingin, namun kepala ku terasa sangat panas.Sekujur tubuh ku menggiggil, baru kali ini aku merasa semenderita ini. Ku lihat Viro dan Liona dengan tekun menngompres diriku dan berada disamping ku semalaman. Namun aku tak menemui sosok Trixie. Andai saja Trixie juga peduli pada ku dan berada disamping ku kini, aku pasti akan lebih kuat menghadapi rasa sakit ini. Aku benar-benar menderita. Viro dan Liona mulai terjaga, sedangkan aku sulit sekali untu tidur.Sudah kuusahakan untuk menutup mata, tapi rasa sakit ini membuyarkan segala rasa ngantuk ku. Namun di tengah malam aku mendengar suara tangis. Dan itu adalah Trixie, suara tangis yang terdengar sangat menyedihkan, aku merasakan itu. Dan yang membuat aku terkejut ternyata Trixie menangis untuk ku. Dia menyesal atas segala perbuatannya. Aku sangat lega mendengar itu semua. Ternyata Trixie masih peduli pada ku. Namun keesokan harinya Trixie sangat penuh dengan kebohongan. Ketika dia mengantarkan bubur, dan mengatakan kalau itu adalah buatan Liona, aku tahu dia berbohong karena Liona sudah pergi kerja sebelum dia bangun. Begitu pula dengan tangisannya semalam, dia tidak mengakuinya. Oh Trixie, seberat itukah kesalahanku sehingga kau bahkan tak sudi untuk menunjukan kebaikan mu padaku. Akhirnya aku tersadar, mungkin selama ini aku sudah keterlaluan dan membuatnya benci padaku, tapi aku juga marah padanya karena selalu saja berbohong.
Semenjak kejadian itu aku mulai berubah sikap pada Trixie. Aku tak lagi menggodanya bahkan mengajak bicarapun seperlunya. Tapi sikapnya masih saja tak pernah berubah, nampak sangat membenciku. Ternyata Tuhan hanya memberikan jalan, tetap aku sendiri lah yang harus melewatinya, dan itu sangat tidak mudah. Aku berusaha tak peduli pun tidak mungkin, karena Trixie masih tak bisa melakukan segalanya sendiri. Aku hanya hadir ketika ku rasa aku pantas hadir. Aku tak mau dianggap Trixie sebagai pengganggu. Aku akan mendekatinya ketika sepertinya dia membutuhkan bantuan. Misalnya seperti menyusun skripsi. Ku akui dia sangat bodoh dalam hal itu. Menyusun sistematikanya saja dia tidak bisa, entah apa yang dia lakukan selama ini di perkuliahannya.
Dan tanpa terasa aku pun tiba di hari kelulusan ku. Aku berhasil lulus sebagai arsitek dengan prestasi yang cukup membanggakan. Banyak sekali tawaran kerja mengalir kepada ku. Sebenarnya itu semua sangat menarik. Tapi aku tak bisa menerima satu pun dari itu semua karena aku telah memutuskan untuk kembali ke Inggris minggu depan. Jujur saja, aku sudah betah tinggal di Surabaya. Teman-teman yang baik dan ramah, Keluarga Liona dan Viro yang sangat menyayangiku, dan segala kemudahan-kemudahan yang aku dapati. Tapi itu semua tak berhasil menutupi rasa sakit hati ku. Bagaimana mungkin aku akan bertahan lebih lama disini dengan sikap Trixie yang semakin hari semakin membenciku. Aku menggodanyanya, dia malah marah padaku. Aku mendiamkannya, dia pun mendiamkan ku balik, bahkan aku berbuat baik padanya, itu tak sedikitpun mengubah sikapnya padaku. Aku sudah tak sanggup lagi hidup dalam kebencian orang yang paling aku sayangi. Dua setengah tahun sudah kulalui bersamanya, meskipun sakit tapi semua kenangan yang ada bersamanya sangat berkesan bagiku. Meskipun mungkin dia beranggapan bahwa waktu dua setengah tahun itu telah membunuh kebahagiannya, semua karena kehadiranku. Lebih baik aku pergi secepatnya dan enyah dari hidupnya agar kami tak lagi saling menyakiti.
Akhirnya aku pun harus pergi dari Indonesia. Trixie, Viro, Liona, dan Om Will serta istrinya yang sudah kembali tinggal di Indonesia mengantarku ke bandara. Waktu keberangkatanku tinggal beberapa menit lagi, lalu ku beranikan diri untuk menyatakan perasaan ku pada Trixie. Aku menarik tangannya dan membawanya ke suatu tempat terpisah dengan Liona, Viro, dan Om Will. Disana aku mengungkapkan segala perasaanku padanya, sejak pertama kali aku mencintainya, alasan mengapa aku menggodanya, dan rasa bersalahku karena telah menimbulkan kebencian pada dirinya. Sejujurnya aku ingin menangis ketika mengatakan itu semua. Aku terharu dan merasa lega, tapi akau juga sakit harus menerima kenyataan patah hati seperti ini. Setalah aku puas mengungkapkannya, aku meninggalkannya. Dan Trixie tetap diam di tempatnya tak bergeming sedikitpun. Mungkin dia shock karena aku telah lancang mengungkapkan cinta secara tiba-tiba.
Selama perjalanan berjam-jam di pesawat, aku hanya mendengarkan musik sambil menutup mataku. Mengenang dua setengah tahun yang aku lewati, dan juga mengenang empat tahun sebelumnya, pertama kali aku mencintai Trixie. Tidak pernah aku bayangkan, aku sudah mencintainya enam setengah tahun, dan sampai sekarang pun perasaan itu tak pernah berubah, masih sama. Dalam diam, aku pun mulai menangis. Lagu yang terputar saat itu hanya sebuah lagu instrumental namun mampu mengacak-ngacak perasaanku hingga terbaw adalam suasana seperti ini. Aku terus diam dan memejamkan mataku, membiarkan airmata ini jatuh sedikit demi sedikit. Yah tak ada salahnya kan kalau seorang pria juga menangis. Karena menangis bukan berarti menjadikan ku sebagai seorang pecundang, tapi dengan menangis, itu tandanya aku menghargai segala sesuatu yang kuanggap berarti.
Ternyata melupakan cinta pertama itu sangat sulit, meski aku sudah sangat sibuk menyelesaikan proyek-proyek ku di Inggris, aku masih saja belum bisa melupakan Trixie. Dia kembali bermain dalam imajinasiku. Sudah dua tahun ku tak melihatnya, bagaimanakah keadaanya sekarang, apakah dia semakin gemuk. Ya kini bayang-bayangnya mulai lagi bermain dalam imajinasiku. Pasti sekarang dia sudah mempunyai kekasih yang tampan dan mapan, atau bahkan mungkin dia sudah menikah, mempunyai anak dan hidup bahagia. Entahlah membayangkan itu, hatiku semakin sakit. Aku bahkan tidak sanggup untuk tidak mebayangkannya sekali saja meski harus sakit yg aku rasa. Mungkinkah aku akan menjadi bujang selamanya karena tak mampu mengenyahkan setiap bayang Trixie.
Pada suatu waktu, Adik sepupu ku menikah. Dia menikah dengan seorang gadis Indonesia yang dikenalkan Om Will dan masih saudara jauh dengan istri Om Will, mereka akan menggelar resepsi pernikahan di kediaman Om Will. Akhirnya aku dan keluarga besar ku datang lagi ke Indonesia untuk mempersiapkan dan menghadiri pesta pernikahan itu. Ku dengar dari Tante (istri Om Will), Om Will menundang Liona dan Viro. Namun dia menambahkan lagi, Trixie tak akan hadir karena Trixie sudah kembali ke Jakarta tinggal bersama orang tuanya. Mendengar itu perasaanku agak kacau, anatar senang dan sedih. Tapi biarlah mungkin kami memang tidak berjodoh. Dan pesta pernikahan pun dimulai. Pesta ini sama seperti pesta pernikahan Om Will beberapa tahun lalu, sebuah pesta kebun di pinggir kolam renang, hanya berbeda pada penempatan waktu. Dahulu pesta berlangsung malam, namun sekarang pesta digelar siang hari. Semua pihak keluarga mengenakan pakaian yang seragam dengan mempelai, bernuansa putih-putih. Pesta ini terlihat lebih minimalis dan elegant. Jujur saja aku sangat iri pada adik sepupu ku, karena seharusnya aku lah yang lebih dulu menikah disini. Kenangan ku lebih banyak disini, dan apalagi aku yang lebih dulu jatuh cinta, tapi kenyataanya dia yang beruntung. Tuhan memberinya jalan yang lebih mulus untuk mendapati kebahagian. Ya setiap orang memang memiliki jalan takdir yang berbeda. Aku tak boleh berpikir sepicik ini lagi.
Ketika aku sedang menikmati pesta bersama keluarga ku, aku melihat Liona dan Viro datang. Sontak aku segera menghampiri mereka dan memeluknya. Aku sangat rindu pada mereka. Kami pun berbincang berempat, dengan Om Will. Disaat sedang asyik berbincang aku melihat seorang wanita yang sangat familiar, seorang wanita yang selama ini selalu aku rindukan. Dia adalah Trixie. Tapi benarkah itu Trixie ? bukankah dia di Jakarta. Lalu mengapa dia menggendong seorang anak kecil. Aku pun menanyakannya pada Liona, ya ternyata itu benar-benar Trixie. Berarti anak yang bersamanya adalah anak dia sendiri. Benar bayanganku selama ini, pasti dia sudah menikah dan hidup bahagia. Aku kecewa. Benar-benar sangat kecewa. Namun disaat aku sedang terpaku menahan segala rasa kecewaku, ku dapati Viro dan Liona saling berbincang. Berbincang mengenai keberadaan anak mereka. “Pa, anak kita dimana ?” tanya Liona pada Viro. “Sepertinya sedang diajak jalan-jalan bersama Trixie”. Jawab Viro.
Senyuman ku pun mulai tersungging, ternyata anak itu adalah anak Viro dan Liona. Lalu aku mencari Trixie, namun Trixie tak ada di arena pesta. Aku yakin sekali dia berada di gazebo belakang sama seperti kejadian beberapa tahun lalu. Aku pun hendak menghampirinya. Namun sbelum tiba sampai gazebo, aku melihat anak yang bersama Trixie tadi sedang berjalan sendiri menuju tepi kolam ikan. Ku gendongnya dia dan mebantunya mencari Trixie. Setibanya di Gazebo, Trixie tidak aku temukan. Aku sempat bingung kemana perginya dia, mengapa dia meninggalkan anak itu sendiri. Tak beberapa lama kemudian ada yang berteriak memanggil nama Calista. Setalah ku tengok, ternyata itu adalah Trixie. Dan pertemuan itu pun kembali terjadi. Namun dengan suasana yang lebih kaku. Aku memulainya mengajak bicara dengan ramah, namun dia hanya menjawab singkat, dan bahkan akhirnya kami saling berdiaman. Sepertinya dia sedang tidak ingin bertemu denganku, wajahnya terlihat merah. Terakhir kali kami bertemu adalah di bandara dua tahun lalu, mungkinkah dia masih kesal dengan kejadian itu. Oh Tuhan lagi-lagi jalan yang kau beri terlalu sulit ku lewati. Sekalinya aku bertemu kembali dengan Trixie, dan mengetahui dia masih single, tapi tetap saja cintanya tak bisa ku jangkau. Dia masih terlalu membenci ku. Akhirnya untuk menenangkan dirinya, aku menyuruh melupakan kejadian memalukan itu. Tapi respon dia malah tertawa terbahak-bahak. Spertinya dia puas sekali menertawai kenaasanku setelah ditolaknya dua tahun lalu. Aku benar-benar malu, ditertawai oleh wanita yang sudah menolakku. Aku pun beranjak pergi meninggalkannya. Aku khawatir dengan Calista yang akan ditinggal lagi nanti olehnya, jadi kubawa Calista kembali ke orang tuanya. Baru saja aku tiba di tepi kolam renang arena pesta, Trixie berteriak kencang memanggil namaku. Dan hal itu pun terjadi. Hal dimana akhirnya dia mulai mengeluarkan segala kekesalannya pada ku.
Suasana mulai mengharubiru ketika Liona dan Calista mulai menagis dipelukan Viro, dan Trixie meminta maaf telah membuat mereka malu. Namun Viro memberi kesempatan untuk Trixie agar lebih jujur pada perasaanya, dia tahu Trixie masih menyimpan sesuatu dia hatinya. Akhirnya Trixie mengurangi emosinya namun tangisannya semakin terasa menyedihkan. Dan akhirnya dia berkata jujur pada ku bahwa dia juga menyayangiku. Selama ini segala wujud kebenciannya pada ku hanya sebagai kedok penyembunyi rasa gengsinya yang tinggi. Aku yang telah salah menafisrkannya itu. Dan bodohnya lagi, dia mengganggap hari ini adalah hari pernikahan ku. Aku benar-benar ingin tertawa. Dia sangat menggemaskan dengan wajah kacaunya seperti itu, lantas segera aku peluk dirinya. Dan ku bisiki keadaan yang sebenarnya. Mulai terdengar suara ria tamu undangan. Bahkan ada yang menangis terharu. Benar-benar sangat lucu kejadian ini semua.
Akhirnya aku resmi menjalin hubungan dengan Trixie. Tapi aku masih harus meninggalkannya karena proyek ku di Inggris masih belum selesai. Aku pun berjanji padanya akan segera kembali dan melamaranya. Namun sebelum kepergianku, Trixie memberiku sebuah jaket kulit yang ternyata sudah dibelinya sejak dua tahun lalu namun tak sempat ia berikan kepada ku. Aku pun terharu namun agak kesal karena kegengsiannya dia, jaket yang harusnya saat itu ngetrend dua tahun lalu, kini menjadi sangat kuno. Tapi biarlah ini tetap sangat berarti bagi ku karena merupakan hadiah pertama yang Trixie berikan padaku. Aku kembali ke Inggris bersama Om Will. Di bandara, aku diintograsi panjang lebar olehnya. Aku lupa bahwa sampai saat kejadian di pesta pernikahan adik sepupu ku itu, Om Will masih belum tahu perasaan ku yang sebenarnya terhadap Trixie. Alhasil habislah aku dijitaki oleh Om Will karena dianggap sebagai pengkhianat. Namun Om Will senang karena akhirnya dia bisa melihat Trixie bahagia dengan orang yang dia anggap mampu membahagiakan Trixie, yaitu aku Stefano Herlington hehehe. Bahkan yang mengejutkan lagi adalah Om Will berjanji akan memberikan rumah megah itu kepada ku dan Trixie setelah kami menikah. Itu adalah wujud apresiasinya terhadap kami, karena rumah itu pertama kali bertemu, dan pertama kali meresmikan hubungan. Om Will akan menetap di Inggris bersama sang Istri. Aku rasa Om Will melakukan itu semua karena patah hati dan tidak mau terus-terusan melihat aku dan Trixie hidup bahagia. Maka dari itu dia mengalah dan memilih menghindar. Walau begitu Om Will adalah cupid terselubung yang sangat hebat. Waktu lalu dia berhasil menyatukan Liona dan Viro, lalu adik sepupuku dengan istrinya. Kini tanpa disadari dia telah menyatukan ku dengan gadis kecil yang paling disayangnya, yaitu Trixie.
Pada akhirnya kami pun menikah di rumah itu pula. Bedanya, kami menggelar pesta di kebun belakang yang terdapat gazebo, bukan di tepi kolam renang seperti sebelumnya. Semua tamu datang membawakan sejuta kebahagiaan bagi aku dan Trixie. Lalu kami memulai kehidupan baru, tapi bukan di rumah itu. Aku membangun rumah sendiri yang lebih kecil dan sederhana. Sebagai seorang arsitek aku ingin membangun rumah ku sendiri, karena itu akan terasa lebih berarti. Aku juga tidak mau rumah sebesar itu, apalagi aku hanya tinggal berdua dengan Trixie. Lebih baik yang kecil saja agar lebih terasa kehangatannya. Akhirnya rumah itu ditempati keluarga besarku yang di Inggris, mereka semua pindah ke Indonesia. Jadilah disana Om Will hanya seorang diri karena istrinya pun ikut tinggal bersama keluarga ku di rumah itu. Kasian Om Will haha. Seandainya Om Will Tahu, dia termasuk orang yang sangat beruntung, karena dia adalah cinta pertama Trixie. Tapi sebaiknya aki tidak membertitahunya, meski aku cemburu tapi bagaimana pun Aku lah cinta terakhir Trixie J